Datangnya bulan Rabi’ul Awwal selalu identik dengan peringatan Maulid  Nabi Muhammad SAW. Peringatan Maulid sendiri pertama kali  digelar pada tahun 1187 M atas prakarsa Sultan Shalahuddin al  Ayyubi, Mesir (1138 - 1193), dengan maksud untuk  membangkitkan semangat jihad kaum Muslim merebut kembali Yerussalem dari  kekuasaan pasukan Salib.
 Pada tahun 1185 M, ketika menunaikan ibadah haji, Shalahuddin  menyerukan perlunya membangkitkan semangat jihad tersebut. Untuk itu,  beliau membuka sayembara menulis riwayat Rasululllah SAW dalam untaian  puisi, yang kemudian dimenangkan oleh Syaikh Ja’far bin Abdul  Karim al Barzanji. Dan syair sang imam itu berperan penting  dalam usaha pembebasan kota Yerussalem.
 Hingga kini, tradisi peringatan itu pun tetap berjalan termasuk di  Indonesia. Di berbagai tempat, umat Islam sibuk mempersiapkan perayaan  Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari yang akan menggelar acara besar-besaran  dan berdurasi panjang seperti perayaan tradisional Sekaten di Solo dan  Yogya, sampai pengajian kecil-kecilan di rumah.
 Dari yang diikuti ribuan jemaah seperti Maulidan di kediaman  para habib terkemuka, sampai yang cuma diikuti belasan orang di langgar  kecil di kampung-kampung. Meski bentuk acaranya beragam, ada satu mata  acara yang sama di berbagai tempat: pembacaan Maulid Nabi. Setiap daerah  mempunyai bacaan Maulid favorit masing-masing.
 Di komunitas habaib, misalnya, yang biasa dibaca ialah Simthud  Durat; karya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.  Sementara kalangan pesantren tradisional di Jawa Timur lebih akrab  dengan Maulid Ad-Diba’i karya Syaikh Ali bin  Abdurrahman Ad-Diba’i Az-Zubaidi. Maulid yang sama juga dibaca oleh  sebagian habib di Sampang, Madura.
   Lain lagi tradisi di sebagian pesisir utara Jawa. Di sana, kalangan  pesantren dan majelis ta’lim kaum ibu menggemari pembacaan Maulid  Barzanji, yang digubah oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim  Al-Barzanji. Ada juga komunitas habaib yang membaca Maulid  Burdah, karya Imam Al-Bushiri, seperti di Kauman,  Semarang. Selain membaca Al-Barzanji, sebagian warga Betawi juga ada yang membaca Maulid  Azabi, karya Syaikh Ahmad Al-Azabi. Belakangan, di  beberapa tempat juga dibaca Maulid Adh-Dhiyaul  karya Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz.
Rata-rata, pembacanya alumnus Ma’had Darul Musthafa, Tarim,  Hadhramaut, Yaman, yang memang diasuh oleh sang penggubah Maulid  kontemporer tersebut.
 Pembacaan Maulid Nabi SAW memang salah satu khazanah  kebudayaan Islam yang luar biasa. Keindahan gaya bahasa karya  para ulama ahli sastra yang terdiri dari natsar (prosa) dan nazham  (langgam qashidah) itu, bak rangkaian ratna mutu manikam.  Ungkapan-ungkapannya yang cantik menawan, tak jarang menghanyutkan  perasaan pembaca dan pendengarnya dalam samudera kecintaan kepada  Rasulullah SAW. 
 Tak mengherankan, dalam pembacaan Maulid tersebut kerap kali dijumpai  hadirin yang tersedu-sedu menangis karena terharu. Dan tak jarang,  linangan air mata itu juga dibarengi histeria kerinduan kepada sang Nabi  Akhir Zaman tersebut. Pengaruh psikologis yang dahsyat inilah yang dulu  diharapkan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, Mesir (1138-1 1 93 M),  saat pertama kali mencetuskan penyelenggaraan pembacaan Maulid Nabi pada  tahun 1187 M sehingga dapat menggugah kembali kesadaran semangat umat Islam. Upaya memelihara semangat dan ghirah keislaman itu  jugalah yang akan ditonjolkan para ulama Nusantara saat memperkenalkan  dan melestarikan perayaan Maulid Nabi.
Dalam kitab Al-Hawi Fatawi, Imam Suyuthi menulis,  “Sesungguhnya kelahiran Rasululluh SAW merupakan nikmat teragung yang  dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita, dan wafatnya beliau adalah  musibah terbesar bagi kita. Syariat telah memerintahkan kita untuk  menampakkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh, dan bersabar  serta tenang dalam menghadapi musibah. Syariat juga memerintahkan kita  untuk melakukan aqiqah bagi bayi yang lahir, sebagai perwujudan rasa  syukur. Namun, ketika kematian tiba, syariat tidak memerintahkan untuk  menyembelih kambing atau hewan lain. Bahkan syariat melarang untuk  meratapi mayat dan menampakkan keluh kesah.”
 Dalam suatu riwayat, Sayyidina Abbas pernah menyampaikan bait-bait  syair pujian di hadapan Nabi SAW dan sejumlah sahabat. Diriwayatkan  bahwa usai Perang Tabuk, Sayidina ‘Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi,  menemui Rasulullah SAW, yang juga kemenakannya, ia berkata, “Aku ingin  mengucapkan syair pujian bagimu.”
 Namun Nabi, yang memang enggan dipuji, berkata, “Semoga Allah menjaga  gigimu dari kerontokan.”
 Lalu Sayidina ‘Abbas melantunkan syair yang menceritakan perjalanan  hidup Nabi sejak sebelum lahir hingga saat kelahirannya:
  Sebelum terlahir ke dunia
engkau hidup senang di surga
Ketika aurat tertutup dedaunan
engkau tersimpan di tempat aman
Kemudian engkau turun ke bumi
Bukan sebagai manusia
segumpal darah maupun daging
tapi nutfah di perahu Nuh
Ketika banjir menenggelamkan semuanya
anak-cucu Adam beserta keluarganya
engkau pindah dari sulbi ke rahim
dari satu generasi ke generasi
Hingga kemuliaan dan kehormatanmu
berlabuh di nasab terbaik
yang mengalahkan semua bangsawan
Ketika engkau lahir, bumi bersinar
cakrawala bermandikan cahayamu
Kami pun berjalan di tengah cahaya
sinar dan jalan yang penuh petunjuk
Pujian yang melambung bagi Rasulullah SAW, yang memang sudah selayaknya, mengingat akhlaq beliau yang mulia, sosok kepribadian beliau yang luar biasa sebagai contoh teladan yang baik (uswatun hasanah). Memang, Rasulullah SAW pernah melarang umatnya menyanjung dan memuja beliau secara berlebihan. Tapi, larangan itu dalam konteks yang berbeda.
Dalam sebuah hadits shahih beliau bersabda, “Janganlah kalian  memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam.  Sesungguhnya aku adalah hamba -Nya, maka ucapkanlah, ‘Hamba Allah dan  Rasul-Nya’.” (HR Bukhari dan Ahmad).
 Mengenai hadits tersebut, para ulama menjelaskan dalam beberapa kitab  bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah melarang umatnya memuji  beliau. Yang beliau larang ialah pujian yang berlebihan, sebagaimana  yang dilakukan oleh umat Nasrani kepada Nabi Isa AS, yaitu menempatkan  beliau sebagai “anak Tuhan”. Inilah jenis pujian yang dilarang oleh Rasulullah SAW, dan inilah yang dimaksud dengan  pujian yang berlebih-lebihan tersebut.
Dan terbukti, sejak hadits tersebut diucapkan hingga kini, tak  seorang pun mereka yang memuji Rasulullah SAW melebihi batasannya  sebagai manusia. Dan tak seorang pun yang menuhankan beliau. Bahkan,  semua pujian yang indah dan berbahasa sastra belum seberapa dibanding  pujian Allah dalam Al-Quran.
 Wallahu a’lam
Sumber http://infokito.net/syair-pujian-peringatan-maulid-nabi-muhammad-saw/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar